English French Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Sabtu, 25 Juni 2011

Kebudayaan dan Perubahan: Daya Taman Kalimantan, dalam Arus Modernisasi (Resensi Buku)

Judul buku : Kebudayaan dan Perubahan, Daya Taman Kalimantan dalam arus modernisasi,  Suatu Etnografis Organisasi Sosial dan Kekerabatan dengan Pendekatan Antropologi Hukum. Pengarang : Y.C. Thambun Anyang. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan Perwakilan Koninklijk Institut Voor Taal-, Land-en Volkenkunde, Jakarta, 1998.
Setiap suku bangsa memiliki ciri khas tersendiri. Demikian pula suku bangsa Taman. Sebagai salah satu entitas Daya Kalimantan, pernak-pernik suku tersebut menarik untuk dikaji.
Masyarakat Taman bermukim di sepanjang sungai sibau, mendalam dan bagian hulu sungai Kapuas di di Provinsi Kalimantan Barat. Cara hidup, panndangan, dan dinamika suku itu perlu dipahami bukan saja oleh perencana dan pelaksana pembangunan, tetapi juga oleh setiap warga negara. Pemahaman itu menjadi semakin urgen, terutama jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan cita-cita bhineka tunggalika dan membumikan slogan “kebudayan daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional”.

Kajian ini merupakan hasil penelitian pada masyarakat Taman, salah satu kelompok etnis Daya yang bertempat tinggal di Kalimantan Barat daerah Hulu Kapuas di sebelah hulu kota Putussibau berbatasan dengan  daerah Sarawak. Penduduk masyarakat Taman di situ berjumlah sekitar 5000 orang, tersebar pada beberapa kampung, yaitu kampung Banuasio di Sungai Sibau, Semangkok di Sungai Mendalam, dan di Sungai Kapuas meliputi Kampung Sauwe, Malapi, Ingkoktambe, Sayut dan Uranunsa. Mereka Bertetangga dengan Daya Kayan, Iban, Kantuk, Bukat, Punan yang kebudayaan dan adatnya masing-masing berbeda. Juga bertetangga dengan orang Daya di sungai Mandai dan Peniung serumpun dengan Taman dan orang Melayu dan Cina di daerah Kapuas hulu melalui bidang perdagangan yang berada dalam tangan dan penguasaan terutama orang cina. Hubungan dengan orang Melayu tidak saja dalam bidang perdagangan, tapi juga di bidang agama di mana dulu menurut orang tua-tua Taman dan literatur cukup banyak orang Taman yang menganut agama Islam. Hal ini hingga sekarang masih berlanjut walaupun dari segi jumlah sudah sangat sedikit dibandingkan pada masa ketika dulu pernah terdapat kerajaan-kerajaan Melayu.

Pada Bab I diketengahkan mengenai siapakah Daya Taman itu, lingkungan fisik , penduduk, ekonomi, pendidikan dan kesehatan untuk mengetahui gambaran umum Daya Taman.
Kemudian pada Bab II dikemukakan tentang perkembangan sejarah menurut tradisi lisan dan sumber-sumber tertulis. Dari tradisi lisan dicari bagaimana susunan masyarakat Taman, apakah berstruktur egaliter atau sebaliknya. Sedangkan dari sumber tertulis dicari dari mana dan kapan kedatangan orang Daya, Melayu dan Cina sebagai penduduk berjumlah besar di Kalimantan, dan bagaimana hubungan dan pengaruh di antara mereka, khususnya terhadap kehidupan orang Daya. Juga tentang kedatangan dan pengaruh Belanda pada masa kolonial, termasuk Jepang. Dan bagaimana dengan zaman Hindu dan perkiraan penyebaran agama (Hindu, Buddha, Islam dan Protestan) serta pengaruhnya terhadap kepercayaan nenek moyang (agama asli) orang Daya.
Bagaimana orang Taman sendiri memandang penggolongan masyarakatnya diketengahkan pada Bab III. Pada bab ini diupayakan menerangkan bagaimana seharusnya dilihat keberadaan penggolongan itu, yang oleh masyarakat Taman sendiri disebut dengan istilah kanturun banua, kanturun banua, kanturun pabiring dan kanturun samagat. Kemudian melalui penelusuran sumber-sumber tertulis, nama-nama yang dipakai orang Taman dan berbagai istilah yang dipakai para penulis dicoba untuk mencari apakah terdapat pengaruh dari luar sehingga para penulis selama ini memberi label bahwa stratifikasi pada masyarakat Taman ini bersifat hierarkis.
Pada Bab IV dilanjutkan dengan kepemimpinan tradisional yang tampaknya diwarnai oleh keberadaan penggolongan masyarakat. Maksud “tradisional” di sini ditujukan terhadap pola kepemimpinan yang di pandang berasal dari masyarakat yang bersangkutan sendiri. Kemudian dibahas bagaimana peran tetua adat dalam perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kemudian bagaimana kepemimpinan tradisional itu setelah diterapkannya sistem pemerintahan baru dari pemerintah kolonial dan Indonesia merdeka.
Konsep kekerabatan pada masyarakat Taman di bahas pada Bab V, termasuk sampai dimanahal itu diperhatikan  dalampenentuan jodoh seorang anak dari suatu keluarga. Juga pada bab ini dijelaskan tentang konsep dan pentingnya anak bagi suatu keluarga.
Setelah itu, pada Bab VI dibahas berbagai ketentuan tentang perkawinan yang berlaku dan biasanya dijalankan oleh ketiga golongan, meliputi pengertian dan tujuan perkawinan, syarat dan larangan perkawinan, pentahapan proses perkawinan dari melamar sampai pada hari perkawinan diselenggarakan. Di samping itu dibahas bagaimana kemandirian suami istri, siapa yang mengurus orang tua pada masa tua, tempat tinggal menetap setelah kawin dan harta suatu keluarga (kiyen).
Barulah pada Bab VII dibahas relevansi keberadaan penggolongan masyarakat, berhubungan dengan barang yang diserahkan oleh pihak laki-laki pada pihak perempuan dalam perkawinan. Kemudian dicari dasar penentuan jumlah barang yang harus diserahkan itu, siapakah yang berperan dalam penentuan itu dan bagaimana hal itu dilaksanakan secara konkret oleh masing-masing golongan.
Lebih lanjut pada Bab VIII dibahas konsep tentang perkawinan putus dan cara penyelesaian. Kemudian berusaha menemukan dan menjelaskan tentang tidak terdapat relevansi pengolongan masyarakat dalam kasus-kasus perceraian. Akhirnya, pada Bab IX diketengahkan kesimpulan sebagai bab penutup untuk mengakhiri buku ini.

diposkan oleh: sintang kota bersemi

0 komentar:

Pop up my Cbox